Tips Memantau Pergaulan Anak - Sebenarnya pentingkah orang tua mengenali satu persatu teman-teman anak mereka? Bila ya, keuntungan-keuntungan apa saja yang bisa didapat dari mengenal teman anak?
Menurut psikolog dari lembaga psikologi Terapan (LPT) Universitas Indonesia Nisfie MH Salanto, orang tua harus mengetahui dengan siapa anak remajanya berteman dan apa saja yang biasa dilakukannya dengan teman-temannya tersebut. Namun orang tua juga harus mampu menjaga dirinya agar tidak bersikap over protective dan bertindak berlebihan, yang malahan akan menghancurkan relasi anak dan orang tua.
Kategorisasi remaja adalah anak yang usianya berkisar antara 11-15 tahun untuk anak perempuan dan untuk anak laki-laki 2 tahun di atas usia tersebut. Berdasarkan kategorisasi berarti anak kelas 5 dan 6 SD sudah termasuk ke dalam usia ini, maka yang harus dipahami orang tua adalah dia harus bisa legowo bahwa anaknya sudah dimiliki oleh lingkungannya. Mereka sebaiknya jangan lagi posesif dan menerapkan aturan kamu harus pulang jam segini atau harus mengerjakan ini dan ini, tidak boleh begini dan sebagainya.
Dengan memberlakukan aturan-aturan satu pihak seperti ini, hubungan anak dan orang tua kelak melahan akan menjadi sulit. Mereka masing-masing akan membuat tembok tinggi yang semakin menjauhkan relasi antarkeduanya. Membuat orang tua dan anak seperti lain.
Kalau kesadaran ini sudah dimiliki, orang tua kemudian disarankan untuk memahami bahwa sebuah pertemanan memang harus dimiliki anak mereka dengan berbagai tujuan dan manfaatnya. Orang tua harus tau mengapa mereka berteman? Apa maksud mereka mencari teman? Tambah Nisfie lagi.
Alasan pertama, remaja harus berlatih berperilaku sosial dan berteman merupakan salah satu sarana untuk bereksperimen. Dengan melihat perilaku temannya yang menurutnya bagus dan manis, maka anak akan berusaha untuk mengadopsi sifat-sifat yang menurut mereka baik. Sebaliknya, ketika ada teman yang berasal dari keluarga broken home, maka dia akan tahu bahwa temannya itu tidak bahagia, misalnya.
Kedua, dengan berteman maka anak akan belajar memperluas pengetahuan perilakunya supaya diterima masyarakat. Ia menjadi tahu mana perilaku yang well excepted dan mana yang tidak. Dari situ ia bisa melihat bahwa seseorang teman yang diterima lingkungannya biasanya memiliki perilaku-perilaku terpuji, yang kemudian membuatnya juga berusaha untuk diterima lingkungan sekitarnya dengan melakukan tindakan serupa.
Alasan ketiga, anak-anak itu memang membutuhkan sarana pendukung di mana mereka akan meresa nyaman dan diterima. Dengan teman sebayanya biasanya tidak terjadi saling mengevaluasi, mengkritik, menyalahkan, atau menjudge seperti yang dilakukan orang tua. Sebaiknya, di lingkungannya teman-temannya, walau dia berbuat kesalahan, teman akan bisa lebih menerima dan mampu memberi masukan dengan lebih fleksibel. Di situ remaja akan merasa aman.
Ketiga, remaja membutuhkan suatu hubungan yang tulus. Biasanya, betapapun dekat hubungan anak dan orang tua, orang tua tidak akan memberi respons kecuali bila anak berbuat salah. Mereka jarang memberi pujian atau apresiasi jika anak melakukan hal-hal yang baik dan benar.
Menurut Nisfie, orang tua juga jangan sungkan-sungkan untuk mengungkapkan kekhawatirannya. Misalnya ketika anak berteman dengan seorang preman atau dengan mereka yang mempunyai tato. Katakan saja, "kelihatannya kamu sangat nyaman ya berteman dengan dia. Kenapa kamu seneng main dengan dia?" Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan bagian dari sikap empati tersebut.
Di sinilah kemudian pembicaraan akan terjadi, karena anak pasti akan bercerita mengapa dia memilih preman itu sebagai temannya. Apa saja yang menarik dari dia. Dengan komunikasi ini maka anak akan berbicara dan orang tua akan tahu mengapa anaknya memilih orang tertentu untuk dijadikan temannya. Setelah anak tahu bahwa orang tua berempati, maka mereka akan tahu orang tuanya mampu bersikap netral dan proposional.
Seorang ibu bisa mengatakan, waktu remaja Mama juga punya banyak teman dengan sifat yang berbeda-beda. Dan sekarang setelah dewasa, Mama tahu mana teman yang bisa di ajak untuk bersahabat dan mana yang tidak. Secara sederhana Nisfie menjelaskan ada teman yang sifatnya seperti yang mana dia berat, kokok, stabil dan berkepribadian baik. Kalau berteman dengan tipe yang seperti ini, biasanya orang akan mudah tergantung. Sebaliknya, jika teman ini tidak ada, maka seseorang akan merasa tidak bahagia dan tidak pede.
Orang tua juga bisa membantu anak memilih teman-teman yang dia miliki. Siapa saja teman yang seharusnya di pilih, dengan adanya asosiasi tadi, maka anak lebih mudah memilih jenis teman yang diinginkan. Berbeda dengan kalau kita panjang lebar menerangkan dan bilang,jangan sama si dia, sama si dia saja atau pilih teman yang begini begitu. Pembicaraan satu arah ini malah membuat anak bingung dan tidak mampu berbuat kategorisasi itu.
Agar anak introver tidak salah memilih teman, orang tua disarankan untuk bermain peran (role model). Orang tua, dalam hal ini ibu bisa mengajak anak berdiskusi sambil berakting untuk mengetahui reaksi anak. ibu bisa mencat rambutnya dan menggambarkan tato di salah satu tubuhnya (tentunya yang temperorer). Tanyakan pada anak apa perasaanya ketika melihat orang yang seperti ini? setelah perasaan. Tanyakan apa yang akan dilakukannya?.
Dengan permainan imagine as if. ini maka anak mengungkapkan perasaanya. setelah memikirkan dan kemudian akan melakukan sesuatu terhadapnya. Bisa saja dia akan mengatakan "kayaknya aku suka model model yang seperti ini, karena kelihatannya aku nyaman bermain bersamanya", atau bahkan sebaliknya.
Dengan mengetahui komentar anak, maka orang tua akan bisa menyimpulkan teman tipe apa yang akan dipilih kelak. Pelatihan role model ini bisa diterapkan sejak anak masih SD, sehingga anak akan lebih mengenal anak secara mendalam.
Penulis: Nessy Febrinasri
Menurut psikolog dari lembaga psikologi Terapan (LPT) Universitas Indonesia Nisfie MH Salanto, orang tua harus mengetahui dengan siapa anak remajanya berteman dan apa saja yang biasa dilakukannya dengan teman-temannya tersebut. Namun orang tua juga harus mampu menjaga dirinya agar tidak bersikap over protective dan bertindak berlebihan, yang malahan akan menghancurkan relasi anak dan orang tua.
Kategorisasi remaja adalah anak yang usianya berkisar antara 11-15 tahun untuk anak perempuan dan untuk anak laki-laki 2 tahun di atas usia tersebut. Berdasarkan kategorisasi berarti anak kelas 5 dan 6 SD sudah termasuk ke dalam usia ini, maka yang harus dipahami orang tua adalah dia harus bisa legowo bahwa anaknya sudah dimiliki oleh lingkungannya. Mereka sebaiknya jangan lagi posesif dan menerapkan aturan kamu harus pulang jam segini atau harus mengerjakan ini dan ini, tidak boleh begini dan sebagainya.
Dengan memberlakukan aturan-aturan satu pihak seperti ini, hubungan anak dan orang tua kelak melahan akan menjadi sulit. Mereka masing-masing akan membuat tembok tinggi yang semakin menjauhkan relasi antarkeduanya. Membuat orang tua dan anak seperti lain.
Membutuhkan Hubungan Yang Tulus
Di usia remaja menurut Nisfie, anak memang tengah membutuhkan interaktsi yang sangat intens dengan teman-temannya ketimbang dengan ke keluarganya. Di usia ini pula, anak memiliki ikatan tertentu dengan dunia luarnya. Hal inilah yang harus disadari betul oleh orang tua.Kalau kesadaran ini sudah dimiliki, orang tua kemudian disarankan untuk memahami bahwa sebuah pertemanan memang harus dimiliki anak mereka dengan berbagai tujuan dan manfaatnya. Orang tua harus tau mengapa mereka berteman? Apa maksud mereka mencari teman? Tambah Nisfie lagi.
Alasan pertama, remaja harus berlatih berperilaku sosial dan berteman merupakan salah satu sarana untuk bereksperimen. Dengan melihat perilaku temannya yang menurutnya bagus dan manis, maka anak akan berusaha untuk mengadopsi sifat-sifat yang menurut mereka baik. Sebaliknya, ketika ada teman yang berasal dari keluarga broken home, maka dia akan tahu bahwa temannya itu tidak bahagia, misalnya.
Kedua, dengan berteman maka anak akan belajar memperluas pengetahuan perilakunya supaya diterima masyarakat. Ia menjadi tahu mana perilaku yang well excepted dan mana yang tidak. Dari situ ia bisa melihat bahwa seseorang teman yang diterima lingkungannya biasanya memiliki perilaku-perilaku terpuji, yang kemudian membuatnya juga berusaha untuk diterima lingkungan sekitarnya dengan melakukan tindakan serupa.
Alasan ketiga, anak-anak itu memang membutuhkan sarana pendukung di mana mereka akan meresa nyaman dan diterima. Dengan teman sebayanya biasanya tidak terjadi saling mengevaluasi, mengkritik, menyalahkan, atau menjudge seperti yang dilakukan orang tua. Sebaiknya, di lingkungannya teman-temannya, walau dia berbuat kesalahan, teman akan bisa lebih menerima dan mampu memberi masukan dengan lebih fleksibel. Di situ remaja akan merasa aman.
Ketiga, remaja membutuhkan suatu hubungan yang tulus. Biasanya, betapapun dekat hubungan anak dan orang tua, orang tua tidak akan memberi respons kecuali bila anak berbuat salah. Mereka jarang memberi pujian atau apresiasi jika anak melakukan hal-hal yang baik dan benar.
Rajin Memberi Empati Kepada Anak
Kalau sudah memahami arti pertemanan bagi anak, orang tua disarankan untuk mengajak anak bersikap terbuka. Caranya dengan rajin memberikan empati kepadanya, misalnya dengan mengatakan, "kayaknya asyik banget ya main sama dia. kalau mama liat kayaknya dia sopan banget ya, Nak. Mama lihat dia itu orang tuanya juga baik ya."Menurut Nisfie, orang tua juga jangan sungkan-sungkan untuk mengungkapkan kekhawatirannya. Misalnya ketika anak berteman dengan seorang preman atau dengan mereka yang mempunyai tato. Katakan saja, "kelihatannya kamu sangat nyaman ya berteman dengan dia. Kenapa kamu seneng main dengan dia?" Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan bagian dari sikap empati tersebut.
Di sinilah kemudian pembicaraan akan terjadi, karena anak pasti akan bercerita mengapa dia memilih preman itu sebagai temannya. Apa saja yang menarik dari dia. Dengan komunikasi ini maka anak akan berbicara dan orang tua akan tahu mengapa anaknya memilih orang tertentu untuk dijadikan temannya. Setelah anak tahu bahwa orang tua berempati, maka mereka akan tahu orang tuanya mampu bersikap netral dan proposional.
Bantu Anak Mengategorisasikan Teman
Setelah memahami arti teman bagi anak, mampu memberi empati, dan menetralkan relasi dengan anak, maka orang tua bisa memberi masukan-masukan yang diharapkan. Ini merupakan teknik yang jauh lebih baik, dari pada berbicara terus-menerus dan memberikan wejangan tiada henti kepada anak. Memberikan masukan-masukan ini bisa juga disebut sebagai langkah mengavaluasi pertemanan. Caranya dengan mengajak diskusi mengenai karakteristik petemanan.Seorang ibu bisa mengatakan, waktu remaja Mama juga punya banyak teman dengan sifat yang berbeda-beda. Dan sekarang setelah dewasa, Mama tahu mana teman yang bisa di ajak untuk bersahabat dan mana yang tidak. Secara sederhana Nisfie menjelaskan ada teman yang sifatnya seperti yang mana dia berat, kokok, stabil dan berkepribadian baik. Kalau berteman dengan tipe yang seperti ini, biasanya orang akan mudah tergantung. Sebaliknya, jika teman ini tidak ada, maka seseorang akan merasa tidak bahagia dan tidak pede.
Orang tua juga bisa membantu anak memilih teman-teman yang dia miliki. Siapa saja teman yang seharusnya di pilih, dengan adanya asosiasi tadi, maka anak lebih mudah memilih jenis teman yang diinginkan. Berbeda dengan kalau kita panjang lebar menerangkan dan bilang,jangan sama si dia, sama si dia saja atau pilih teman yang begini begitu. Pembicaraan satu arah ini malah membuat anak bingung dan tidak mampu berbuat kategorisasi itu.
Remaja Intover, Remaja yang Tidak Mampu Berteman
Berbeda dengan remaja yang mampu memiliki teman banyak, remaja introver cenderung sulit menemukan teman. Para orang tua yang memiliki anak jenis ini membutuhkan interaksi yang lebih demi tujuan agar anak bisa memilih teman yang memang diinginkannya secara tepat. Menurut Nifie, ada kemungkinan remaja-remaja introver ini tidak mampu mengidentifikasi teman seperti apa yang cocok buat dirinya. Hal inilah yang kemudian menimbulkan kesan bahwa ia sulit memilih teman.Agar anak introver tidak salah memilih teman, orang tua disarankan untuk bermain peran (role model). Orang tua, dalam hal ini ibu bisa mengajak anak berdiskusi sambil berakting untuk mengetahui reaksi anak. ibu bisa mencat rambutnya dan menggambarkan tato di salah satu tubuhnya (tentunya yang temperorer). Tanyakan pada anak apa perasaanya ketika melihat orang yang seperti ini? setelah perasaan. Tanyakan apa yang akan dilakukannya?.
Dengan permainan imagine as if. ini maka anak mengungkapkan perasaanya. setelah memikirkan dan kemudian akan melakukan sesuatu terhadapnya. Bisa saja dia akan mengatakan "kayaknya aku suka model model yang seperti ini, karena kelihatannya aku nyaman bermain bersamanya", atau bahkan sebaliknya.
Dengan mengetahui komentar anak, maka orang tua akan bisa menyimpulkan teman tipe apa yang akan dipilih kelak. Pelatihan role model ini bisa diterapkan sejak anak masih SD, sehingga anak akan lebih mengenal anak secara mendalam.
Penulis: Nessy Febrinasri