Dampak Dari Mendaki Gunung - Orang tua mana yang tidak akan gundah menyaksikan anak remajanya berkemas ingin mendaki gunung. Jangan-jangan jatuh ke jurang. Jangan-jangan nantinya tersesat di hutan. Jangan-jangan??, sejuta prasangka berkelebat di pikiran.
Namun, kegundahan itu bisa saja sirna. Kalau saja sudah disiapkan berbagai perbekalan. Soalnya, kegemaran mendaki gunung (hiking), kini bukan hanya dimonopoli kaum muda usia. Tapi, orang berusia lanjut.terkadang ada yang iseng. Paling tidak sekadar melemaskan otot sembari berolahraga.
Selain itu, di puncak gunung kita bisa menatap ke bawah, mengagumi tumbuhan hijau, lereng-lereng yang inddah, tebing-tebing ukiran alam sambil berdecak kagum menikmati kekayaan alam Indonesia sembari menghirup udara nyaman.
Di gunung-gunung Sibayak (Sumatera Utara), Merapi (Sumatera Barat), Pangrango (Jawa Barat), Merbabu (Jawa Tengah), Gunung Bromo, Gunung Slamet dan Gunung Rinjani, hampir setiap minggu ramai dikunjungi para pendaki gunung. Kebanyakan mereka masih taraf pemula. Jadi kurang memperhatikan perlengkapan yang memadai demi keselamatan dirinya. Akibatnya, banyak kecelakaan yang sering mengambil korban nyawa. Akhirnya para ibu rumah tangga mengkhawatirkan anak-anaknya bepergian walau cuma sekadar berkemah (camping).
Jika diamati, sepanjang kecelakaan di gunung ada dua faktor yang sering terjadi. Pertama, efek hipoksia (kekurangan oksigen) pada tubuh. Kedua, efek fisik dari ketinggian dari permukaan Taut, seperti suhu dan radiasi ultraviolet. Tapi, hal yang terakhir ini jarang terjadi pada pendaki gunung. Kecuali misalnya kekurangan energi (makan yang cukup), kedinginan, kecelakaan yang mengakibatkan benturan dan pendarahan yang hebat.
Selanjutnya, unsur racun karbon monoksida ikut menumpuk dan berusaha 'memanggil' susunan pernapasan di medulla oblongata (batang otak). Lalu karbon monoksida dilepaskan dari darah paru-paru ke dalam alveolus (penyaring di paru-paru).
Bila racun karbon monoksida itu menumpuk di paru-paru, maka tubuh otomatis menjadi lemas. Artinya, cadangan udara bersih sudah tertutup oleh karbon monoksida. Keadaan ini tentu saja membuat orang menjadi panik.
Pendaki gunung yang mengalami hal seperti itu tentunya akan cepat pingsan. Keadaan fatal (kematian) akan dipercepat jika sebelumnya pendaki gunung ini mengidap penyakit asma (bengek), bronkitis kronis, disebabkan defisit metabolik di dalam sel saraf.
Dekompresi biasanya sering dialami oleh para penyelam dasar Taut. Para penyelam yang sudah mencapai kedalaman maksimal, maka tubuhnya berupaya menetralisir dengan mengurangi kedalaman. Namun penyesuaian tubuh terjadi secara perlahan-lahan dalam waktu tertentu.
Penurunan barometer yang demikian cepat akan langsung membahayakan. Contoh konkritnya, lihat saja pada penerbang. Nah, pada pendaki gunung efek dekompresi dapat saja terjadi, kendati kemungkinannya minimal. Tetapi, bukankah pada setiap orang mempunyai kelemahan tubuh yang sangat bervariasi? Oleh sebab itu, dianjurkan berhati-hati terhadap efek dekompresi.
Baca Juga : Kenali Jenis, Penyebab Dan Obat Sakit Kepala
Pada penduduk pegunungan, jumlah sel darah merahnya (eritrosit) dan pacuan jantung untuk memompa darah memang lebih unggul. Dalam beberapa penelitian, penduduk pegunungan lebih banyak mempergunakan pernapasan dada, sedang ukuran tubuh cenderung berkurang, juga ditopang pula perbandingan kapasitas ventilasi paru-paru dengan massa tubuh yang tinggi. Dengan demikian, penduduk pegunungan daya aklimatisasi alamiah mereka jauh lebih cepat dan tinggi dengan kapasitas yang besar.
Gejala sakit kepala memang tampak dominan. Jika berlebihan, membuat kejang dan mengakibatkan koma dan mati rasa. Pertimbangan daya ingat terhadap lingkungan menjadi berkurang, sehingga menyebabkan kurangnya kontrol terhadap gerakan motorik terganggu. Akibatnya, kemungkinan kecelakaan jauh lebih besar.
Penulis : Drs. Med. Iwan Fauzi
Namun, kegundahan itu bisa saja sirna. Kalau saja sudah disiapkan berbagai perbekalan. Soalnya, kegemaran mendaki gunung (hiking), kini bukan hanya dimonopoli kaum muda usia. Tapi, orang berusia lanjut.terkadang ada yang iseng. Paling tidak sekadar melemaskan otot sembari berolahraga.
Selain itu, di puncak gunung kita bisa menatap ke bawah, mengagumi tumbuhan hijau, lereng-lereng yang inddah, tebing-tebing ukiran alam sambil berdecak kagum menikmati kekayaan alam Indonesia sembari menghirup udara nyaman.
Di gunung-gunung Sibayak (Sumatera Utara), Merapi (Sumatera Barat), Pangrango (Jawa Barat), Merbabu (Jawa Tengah), Gunung Bromo, Gunung Slamet dan Gunung Rinjani, hampir setiap minggu ramai dikunjungi para pendaki gunung. Kebanyakan mereka masih taraf pemula. Jadi kurang memperhatikan perlengkapan yang memadai demi keselamatan dirinya. Akibatnya, banyak kecelakaan yang sering mengambil korban nyawa. Akhirnya para ibu rumah tangga mengkhawatirkan anak-anaknya bepergian walau cuma sekadar berkemah (camping).
Jika diamati, sepanjang kecelakaan di gunung ada dua faktor yang sering terjadi. Pertama, efek hipoksia (kekurangan oksigen) pada tubuh. Kedua, efek fisik dari ketinggian dari permukaan Taut, seperti suhu dan radiasi ultraviolet. Tapi, hal yang terakhir ini jarang terjadi pada pendaki gunung. Kecuali misalnya kekurangan energi (makan yang cukup), kedinginan, kecelakaan yang mengakibatkan benturan dan pendarahan yang hebat.
Kekurangan Oksigen saat Mendaki Gunung
Bila orang naik ke tempat yang tinggi dari permukaan laut, maka gaya fisiologi akan terjadi. Tekanan barometer (udara lingkungan) menjadi berkurang. Penurunan barometer ini akan menyebabkan terjadinya mekanisme hipoksia. Secara beruntun tekanan barometer turun dan membuat tekanan oksigen ikut pula turun dan berkurang jumlahnya, sehingga pernapasan yang dilakukan paru-paru terganggu.Selanjutnya, unsur racun karbon monoksida ikut menumpuk dan berusaha 'memanggil' susunan pernapasan di medulla oblongata (batang otak). Lalu karbon monoksida dilepaskan dari darah paru-paru ke dalam alveolus (penyaring di paru-paru).
Bila racun karbon monoksida itu menumpuk di paru-paru, maka tubuh otomatis menjadi lemas. Artinya, cadangan udara bersih sudah tertutup oleh karbon monoksida. Keadaan ini tentu saja membuat orang menjadi panik.
Pendaki gunung yang mengalami hal seperti itu tentunya akan cepat pingsan. Keadaan fatal (kematian) akan dipercepat jika sebelumnya pendaki gunung ini mengidap penyakit asma (bengek), bronkitis kronis, disebabkan defisit metabolik di dalam sel saraf.
Efek Dekompresi
Secara gamblang diterangkan, efek dekompresi disebabkan penurunan tekanan barometer dibawah tekanan total dari semua gas yang terlarut dalam cairan tubuh. Hal ini membuat gas keluar dan membentuk gelembung gas di dalam cairan jaringan.Dekompresi biasanya sering dialami oleh para penyelam dasar Taut. Para penyelam yang sudah mencapai kedalaman maksimal, maka tubuhnya berupaya menetralisir dengan mengurangi kedalaman. Namun penyesuaian tubuh terjadi secara perlahan-lahan dalam waktu tertentu.
Penurunan barometer yang demikian cepat akan langsung membahayakan. Contoh konkritnya, lihat saja pada penerbang. Nah, pada pendaki gunung efek dekompresi dapat saja terjadi, kendati kemungkinannya minimal. Tetapi, bukankah pada setiap orang mempunyai kelemahan tubuh yang sangat bervariasi? Oleh sebab itu, dianjurkan berhati-hati terhadap efek dekompresi.
Baca Juga : Kenali Jenis, Penyebab Dan Obat Sakit Kepala
Prows Aklimasi
Kita jadi bertanya, kenapa penduduk asli Andes Peru dan Himalaya dapat hidup dan menjalankan kegiatan sehari-harinya pada ketinggian sekitar 4000 - 5000 meter di atas permukaan laut. Bahkan, mereka sanggup bekerja di pertambangan pada ketinggian 6000 meter.Pada penduduk pegunungan, jumlah sel darah merahnya (eritrosit) dan pacuan jantung untuk memompa darah memang lebih unggul. Dalam beberapa penelitian, penduduk pegunungan lebih banyak mempergunakan pernapasan dada, sedang ukuran tubuh cenderung berkurang, juga ditopang pula perbandingan kapasitas ventilasi paru-paru dengan massa tubuh yang tinggi. Dengan demikian, penduduk pegunungan daya aklimatisasi alamiah mereka jauh lebih cepat dan tinggi dengan kapasitas yang besar.
Hipoksia
Efek hipoksia yang paling dini terhadap fisiologi tubuh adalah menurunnya ketajaman penglihatan di malam hari. Kecepatan paru-paru meningkat. Bila keadaan lebih tinggi lagi, ditemukan gejala seperti: rasa mengantuk, kelesuan, kelelahan mental, sakit kepala, mual dan kadang-kadang euforia atau rasa yaman yang semu.Gejala sakit kepala memang tampak dominan. Jika berlebihan, membuat kejang dan mengakibatkan koma dan mati rasa. Pertimbangan daya ingat terhadap lingkungan menjadi berkurang, sehingga menyebabkan kurangnya kontrol terhadap gerakan motorik terganggu. Akibatnya, kemungkinan kecelakaan jauh lebih besar.
Tingkatan hipoksia dapat dibagi atas:
Hipoksia FulminanUntuk mencegah dampak buruk dari hipoksia, para pendaki gunung yang sebelumnya mengidap penyakit jantung, pernapasan dan sirkulasi darah dianjurkan untuk tidak mencapai ketinggian yang melebihi daya tahan tubuh. Dengan demikian, sebelum mendaki gunung periksa keadaan diri Anda.
Dimana terjadi pernapasan yang sangat cepat. Paru-paru menghirup udara tanpa adanya udara bersih (oksigen). Sering dalam waktu satu menit akan jatuh pingsan.
Hipoksia Akut
Terjadi pada udara yang tertutup akibat keracunan karbon monoksida. Misalnya, seorang pendaki gunung tiba-tiba panik ketika udara belerang datang menyergap. Udara bersih tergantikan gas racun, akhirnya paru-paru tak kuasa menyedot udara bersih. Mendadak ia pingsan.
Hipoksia Kronis
Proses hipoksia timbul secara perlahan. Biasanya pendaki gunung yang terlalu lama dalam perjalanan pendakian, sesampainya di rumah tubuhnya tidak bisa menerima perubahan suhu. Hipoksia yang terjadi berjalan agak lama. Tentu saja hal ini akan mengganggu proses pernapasan yang dilakukan paru-paru.
Penulis : Drs. Med. Iwan Fauzi